Testindo – Lahan gambut itu ibarat sebuah spons raksasa yang menyimpan air dan juga karbon dalam jumlah yang sangat besar. Para ahli memperkirakan ada sekitar 40 – 60 gigaton karbon yang ada di lahan gambut. Sama juga seperti spons, nasib lahan gambut juga sangat dipengaruhi seberapa basah atau kering kondisinya.
Ketika air tanah di lahan gambut ketinggiannya mulai menurun hingga di bawah 40 cm, maka akan mengeluarkan CO₂. Dilansir dari BBC.com, dalam laporan kajian organisasi lingkungan hidup, World Resources Insitute, setiap hektar gambut tropis yang dikeringkan untuk pengembangan perkebunan mengeluarkan rata-rata 55 metrik ton C02 setiap tahun, kurang lebih setara dengan membakar lebih dari 6.000 galon bensin.
Sedangkna negara Indonesia, pemilik 40% gambut tropis dunia, pernah mengalami kebakaran gambut 2015 yang melepaskan sekitar 1,7 miliar ton CO₂, jumlah ini dua kali lipat yang diproduksi oleh Jerma setiap tahunnya.
Kebakaran Lahan Gambut Akibat Air Tanah Menurun
Pengaruh air tanah pada lahan gambut sangat besar. Gambut kering tidak hanya melepaskan karbon perlahan, tapi juga menjadi bahan bakar sempurna. Saat air tanah turun, lapisan gambut berubah menjadi serbuk kayu kering setebal 3-12 meter. Sekali terbakar, api menyusup ke dalam tanah seperti naga yang menggerogoti dari bawah.
Kebakaran gambut di Riau (2019) membuktikan betapa sulitnya memadamkan api ini, bahkan asapnya sampai ke Singapura dan Malaysia. Bukan cuma CO₂ yang dilepaskan, tapi juga sianida dan partikel beracun penyebab ISPA.
Setiap kali air tanah diturunkan untuk perkebunan, gambut tak hanya melepaskan karbon tapi juga mengalami penyusutan. Proses subsidensi ini ibarat balon yang mengempis, oksidasi bahan organik dan pemadatan tanah menyebabkan permukaan gambut turun 3-5 cm/tahun.
Di Kalimantan Tengah, beberapa wilayah sudah mengalami subsidensi 2 meter dalam 20 tahun. Akibatnya, saat musim hujan, lahan ini berubah menjadi kolam raksasa. Petani kelapa sawit di Sumatera bahkan mulai mengeluh “Dulu tanahnya datar, sekarang seperti menanam di lereng bukit.”
Namun, di balik risiko lingkungan, ada alasan lain mengapa air tanah sengaja diturunkan. Untuk kelapa sawit, ketinggian air tanah ideal adalah 60-80 cm. Terlalu dangkal (40 cm) akar bisa terendam dan jika terlalu tinggi (1 meter) maka gambut kehilangan kelembaban.
Monitoring Air Tanah, Solusi Menjaga Kestabilan Air Tanah
Kabar baiknya, gambut punya kemampuan regenerasi jika air tanah dikembalikan. Program rewetting (pembasahan) dengan kanal blocking di Taman Nasional Sebangau (Kalimantan) berhasil menaikkan air tanah 20-30 cm dalam 2 tahun. Hasilnya? Emisi CO₂ turun 40-60%, dan populasi orangutan mulai stabil.
Teknologi terkini bahkan memungkinkan pemantauan real-time ketinggian air tanah menggunakan sensor IoT atau yang disebut Automatic Water Level Recorder. Teknologi ini menggunakan sensor khusus untuk monitoring ketinggian air tanah secara otomatis

Testindo sendiri beberapa kali mendapatkan kesempatan untuk melakukan instalasi atau pemasangan Automatic Water Level Recorder di lahan gambut dan sawit. Selain mengukur ketinggian air tanah, AWLR ini juga dapat diintegrasikan dengan sensor lainnya seperti sensor suhu, kelembaban, curah hujan, hingga sensor radiasi matahari.
Pengamatan ketinggian air tanah ini bisa dilakukan dari jauh melalui PC ataupun mobile. Sedangkan untuk supplai listriknya sudah dilengkapi solar panel.
Melalui pemasangan AWLR ini kestabilan air tanah di lahan gambut dapat terpantau dengan baik sehingga bisa dilakukan tindakan mitigasi yang tepat sebelum terjadi kekeringan ataupun ketika air tanah berlebih.
Jika Anda ada kebutuhan pemasangan Automatic Water Level Recorder atau ingin konsultasi lebih dulu, silahkan menghubungi kami melalui :
Chat dengan tim kami melalui fitur live chat di pojok kanan bawah website ini